Hei, Pasuruan!

senja di pasuruan

senja di pasuruan

Perjalanan sekali sebulan ini sebenarnya sangat cukup untuk aku dapat menuliskan rupa-rupa cerita, meski kemudian semua terkalahkan oleh satu kata; malas.

Semua cerita hanya mengendap, tertuliskan dengan ending normatif, menghilangkan pengalaman-pengalaman seru yang akhirnya terlupakan, tertumpuk oleh pengalaman seru lainnya. Sedikit menyedihkan memang.

Akan tetapi satu hal, bahwa hidup hidup di lingkungan nyaman, aman, adalah nikmat yang taktergantikan, sekaligus pengingat agar tak habis rasa syukur pada Sang Pemberi Hidup. Iya, seharusnya begitu..

Surabaya-Pasuruan, November 2015

daun kering

Perjalanan Bandung-Surabaya yang melewati empat waktu shalat cukup membuatku lelah. Terbayang, begitu sampai Stasiun Gubeng langsung menuju mushala, beberes dan bisa sekadar meluruskan kaki atau mencari sarapan pagi sembari menunggu Ninu yang sampai dua jam lagi.

“Taxi, Mba.” Sapaan khas dari para ‘penjemput’ di setiap stasiun atau terminal mulai tedengar begitu kami, –aku, Renol, Ae, sampai di Gubeng. Aku celingukan mencari mushala serta kamar mandi. Namun ternyata stasiun ini tak cukup bersahabat, karena mushala ada di dalam stasiun, sementara kami sudah terlanjur berada di luar dan mencari tempat duduk yang ternyata jumlahnya tak seberapa dibandingkan penumpang yang juga ingin segera meletakan barang bawaan dan menunggu sang penjemput –mungkin.

Sedikit menyesal kenapa tadi tak menyempatkan diri beberes di kereta, karena kamar mandi  yang hanya dua buah taklagi berfungsi baik. Airnya sedikit sedangkan antrian ibu-ibu takbisa dibilang sedikit.

Dua jam kemudian, aku masih di Gubeng. Kali ini Ninu sudah bergabung bersama kami. Dan dalam waktu itu aku, Renol, Ae sudah mandi lengkap dengan sarapan enak di Girilaya, rumah Nenek Renol.

Barang bawaan kami tergeletak begitu saja, dan kami pun duduk di lantai karena kursi tunggu yang penuh oleh penumpang yang entah mau berangkat atau tengah menunggu penjemput seperti kami.

Macet. Itu kata sang penjemput, Relawan Inspirasi yang rumahnya akan menjadi tempat singgah kami dua hari ke depan. Sehingga sampai pukul 9.30 kami masih panas-panasan di tempat tunggu Stasiun Gubeng.

Ketika kemudian ia datang, kami langsung memindahkan barang ke bagasi mobil dan memulai perjalanan yang hampir tiga jam menuju Wonosari, Pasuruan. Sepanjang jalan hanya kering kecokelatan yang terlihat, musim kemarau yang panjang menyisakan banyak jejak di kanan kiri jalan. Namun memasuki daerah Wonosari, pemandangan berganti. Masih ada sawah yang menghijau dan serta kebun jagung yang menguning emas. Jejak kemarau sedikit tersamarkan di daerah ini.

“Di sini ada wifi-nya ya, monggo kalau mau internetan. Bebas.” Pak Alim, Relawan Inspirasi yang kini rumahnya kami singgahi, memberitahukan kepada kami begitu kami sampai.

Ruang tamu yang hanya memanjang tanpa kursi dan meja tamu itu terlihat luas. Ada seperangkat PC tua dan printer yang tergeletak di pojok ruangan.

“Itu PC hibah dari temen ODOJ, biasanya anak-anak asuh tiap malem belajar di sini. Kalau lagi musim ujian bisa sampai 30 orang. Mereka ngerjain tugas dan belajar di sini. PC dan wifi itu untuk mereka,” lanjutnya.

Sejenak, aku teringat Kebumen. Suasana desa seperti itu selalu mengingatkanku akan rumah. Dan aku masih bertanya, kenapa harus ada ‘Relawan Inspirasi’ di sini.

“Tiap pagi dan sore, pancuran itu juga bakal ramai. Banyak yang mandi di situ.”

Aku mengenyit, melihat pencuran yang hanya diberi pembatas ‘seadanya’ di pojok halaman. Bagaimana bisa ada orang dewasa tega bebersih di tempat seperti itu.

“Yang punya WC pribadi di sini hanya beberapa.”

Aku semakin paham. Hingga ketika hari kedua di sana dan berkunjung ke salah seorang penerima manfaat aku cukup kaget saat disuguhi 2 gelas teh dengan beberapa ‘pisin’ untuk ber-enam.

“Ini anak saya yang pertama, umurnya sudah lima tahun.” Ibu muda tersebut menggendong bayi yang masih beberapa bulan sambil memperkenalkan anaknya.

“Mba sekarang usianya berapa gituh?”

“Saya masih 20 tahun. Pas habis tamat SD dinikahin. Suami udah 25 tahun waktu itu. Terus Kb dulu biar gak hamil. Di sini nikahmuda emang biasa, Mba..’

Aku terdiam. Takjub.

 

This slideshow requires JavaScript.

 

antim 24, 30/01/6

 

 

 

17 thoughts on “Hei, Pasuruan!

    • Iya, saya jg kaget dan sedih. Awalnya g ngeuh itu minuman buat sapa. oiya, gelas satunya pke smcm gelas es teh yg besar siy..
      Relawan inspirasi itu relawannya rumah zakat. Dia menetap di desa binaannya sbg pemberdaya mba..mendampingi sgl program pemberdayaan di sana. ^^

      Like

Leave a comment