Dulu aku selalu memotivasi diri dan berkata ke adik-adikku: “bukan dimana ada dakwah, disitu ada kita, tapi dimana ada kita disitu ada dakwah.” Tampak berat memang kalimat itu, dan mungkin akan lebih sederhana jika diganti dengan kata bermanfaat. Ya, bagaimana kita bisa menjadi pribadi yang senantiasa bermanfaat untuk lingkungan di mana kita tinggal sekarang.
Hampir dua bulan, aku kembali tinggal di kosan. Sebenarnya tak banyak yang berbeda, karena teman-temannya masih sama, meski ada juga penghuni baru. Tak ada yang berbeda, kamar-kamar dan tawa mereka masih kerap membahana hingga ujung malam. Tapi ada satu yang berbeda, tak ada lagi shalat berjamaah yang meramaikan mushalla mungil kami. Dan celakanya, aku juga teramat susah untuk memulainya kembali, bahkan terkadang lupa. Pulang (seringkali) sudah menjelang Isya, dan ketika subuh aku bahkan sering tak tahu siapa saja yang ada di kosan.
Dulu, saat KKN cukup susah juga memulai ‘ritual’ shalat berjamaah, mengingat aku sekelompok dengan mahasiswa yang notabene hedon. Belum lagi patunjuk-tunjuk jadi imam yang bisa memakan waktu lama, tapi setelah berpisah beberapa tahun ternyata yang kami rindukan adalah moment shalat berjamaah tersebut. Seorang teman pernah meng-smsku, kangen shalat jamaah lagi, katanya. Saudaranya juga sempat berseloroh, “Kau itu baru pulang KKN apa pulang mesantren siy, pake assalamualaikum segala kalau ketemu orang?” Aku tersenyum haru mendengar ceritanya, mengingat teman perempuanku tersebut memang tergolong paling “susah” disuruh shalat, perokok akut dan terbiasa dengan minuman. Belakangan, silaturahmi kami tersambung kembali melalui socmed sebelah. Dan yang bikin aku kaget saat dia memanggilku dengan sebutan ukhti, membicarakan perihal aktivitasku di hizb dan ngaji. Subhanallah, hidayah itu telah menghampirinya Rupanya dia kerja di sebuah bank syariah yang kemudian mewajibkannya untuk berjilbab dan bertemu dengan suaminya di sana.
Tak pelak, lingkungan memang mempunyai peran untuk sebuah perubahan. Tapi sebenarnya faktor dari dalam dirilah yang lebih memegang peranan utama. Jihadun Li Nafsih, mungkin begitu bahasa kerennya, berjihad melawan hawa nafsu sendiri.
Aku sendiri merasa bisa lebih tangguh berada di lingkungan “berwarna.” Hal itu memaksaku untuk terus berjaga. Dan itu sudah kurasakan sejak pertama aku kos. Menyenangkan tinggal bersama teman-teman dengan warna yang berbeda, menyenangkan mendengar cerita hingga larut malam, menyenangkan saat mengajak berjamaah, menyenangkan menjadi kita “apa adanya” tanpa takut berbeda dengan mereka. Mereka adalah reminder bagiku, saat aku mulai jenuh. Aku banyak belajar dari mereka, untuk bisa lebih baik dan lebih baik lagi.
Kemarin ada seorang teman yang mengungkapkan “rasa irinya” dengan lingkunganku yang kondusif. “Enak ada di lingkungan kondusif, tak harus merasakan sikut sana sini. Kalian mah, ijin ngaji aja tetep dibayar.” Aku hanya tersenyum, ingat janjiku dulu, bahwa dimanapun aku berada, aku akan tetap sama. Terutama untuk jilbab dan bajuku, juga cara bergaulku.
Banyak sisi positif memang, berada di lingkungan kondusif. Setidaknya kita bisa merasakan warna dan langkah yang selaras, tak perlu berdebat panjang untuk banyak urusan. Tapi seperti yang sudah kukatakan dari awal, bahwa yang berpengaruh tetap diri sendiri. Meski setiap hari ada mutabaah tilawah atau tahajud, kalau futur ya futur aja, nggak tahajud atau hanya tilawah beberapa lembar. Atau juga masih ada saja teman yang lupa, makan sambil jalan, atau memakai tangan kirinya untuk menyuap, atau seringkali tidak mengikuti shalat berjamaah. Meski tampak lebih mudah diingatkan, tapipun aku masih belum bisa bebas mengingatkannya seperti yang selalu kulakukan di kosan.
Selalu ada hal yang perlu kita lengkapi dimanapun kita berada, hatta ketika orang melihat kita berada di lingkungan yang tampak “sempurna.” Selalu ada hal yang perlu kita perbaiki tiap harinya, agar kita tak menjadi insan yang merugi. Kita harus bisa mengkondisikan diri sendiri, seperti apapun bentuk lingkungan kita. Jangan pernah mengandalkan lingkungan atau orang lain untuk selalu berperan pada perubahan diri kita, apalagi menyalahkan lingkungan terhadap kondisi diri. Seperti judul majalah Tarbawi beberapa tahun lalu, “bukan suasana yang perlu diganti, tapi rasa yang harus diperbaiki.”
Lengkong,11:39
**
entah kenapa lagi bosen nulis puisi, bahkan tampak berat saat membacanya, jadi ajah berpanjang lebar curhat, dari ujung utara sampai ujung selatan. sebuah introspeksi diri.
Tin… aq sedang menahan diri, menahan emosi males banget ya karena kita tidak bisa memandang bahwa isi kepala harus sama 😦
LikeLike
di kerjaan ya, Mba?
LikeLike
bukan di eMPi :Pbikin males ngeMPi
LikeLike
lah? ko jadi di empi?emang ada yg begitu, Mba? ;dmemaksa harus berfikir sama?*msh gak ngerti -,-
LikeLike
hehehehe ada aja tin…nanti juga nemuin yg aneh2 didunia maya eh jangan deng.. yg bikin nyaman n tambah ilmu aja ya…
LikeLike
;d titin kan polos polos ajah, Mba..nemuinnya org2 baik kaya Mba Hen selama ini ;)*meski suka denger or bebacaan yg kdg aneh juga, hehe
LikeLike
mnggut2..dan mengambil hikmah tulisan pnuh mkna ini 🙂
LikeLike
manggutmanggut liat catur tampak serius, tak seperti biasanya.*piss, maan ;d
LikeLike
saya mendengar ada kalimat serupa seperti yg dibilang mbak heni. tapi karena saya nggak begitu ambil pusing…. jadi ya nggak jadi pusing 🙂
LikeLike
wah wah..para tetua empe niy memang peka sekali yah, Titin mah msh anak bawang nan lugu, jd ga tau juga.. hehe, dan kalo tau mungkin jg lewat ajah ;d
LikeLike
hw, tulisannya beraaaattt.. lebih berat dari puisi.
LikeLike
oh kl biasanya saya serng geleng2 ya mb tin XD
LikeLike
udh dibaca?rudet baca puisi, teh -,-
LikeLike
ahahah! hmm.. salah satunya itu ;p
LikeLike
hmmmm dalem-dalem perenungannya 😀
LikeLike
Manusia bisa lebih baik, tapi ia tidak pernah bisa menjadi sempurna.
LikeLike
selamat! berhasil dg genre berbeda :d
LikeLike
aq jg lbh senang dg lingkungan yg ‘brwarna’ tin, jd semangat gmn gt ^_^. kl aq sih ngajak2nya cm karna takut terpengaruh buruk aja, mky bgt dapet lingk yg ‘baik2’ orangnya eh malah berantakan ibadahnya
LikeLike
gak sedalem sumur tapinya kan mba/;d
LikeLike
yup! suka! setujuu ^,^
LikeLike
yeaay yeaay! gak lagi puisi2an thok, ;)*gegara tiap hari bikin feature dan news ;))
LikeLike
*toss 😉
LikeLike
phyuuuuuuuuuuuhhhhh*gleg..hehehe*bingung rep nggeje.. haha
LikeLike
ndondok, Mba nek bingung.*lagi blajar nulis titin, mah ;))
LikeLike
tfs 🙂
LikeLike
sambil nyruput teh, enak mba dibacanya 🙂
LikeLike
kok rasa siy? ruhiyah teh.. ;;)
LikeLike
aku mesti belajar nih bikin feature, news, artikel kyk2 gitu…ajarin yaakk 😉
LikeLike
sama masternyaah tuh, yg lg kuliah lagi 😉
LikeLike
;)sami2
LikeLike
wah, rasa apa Mba enak?;d
LikeLike
rasa itu mengaca ke ruhiyah, Neng.. 😉
LikeLike
bedanya apa emang?
LikeLike
setuju, tidak penting di mana lingkungannya, yg utama, kebaikan apa yang bisa kita berikan :)tulisannya bagus, puisinya bagus.. wahhh
LikeLike