tentang kematian

Pagi tadi tiba-tiba aku ingat seorang tetehku yang sudah tiada. kepergiannya begitu tiba-tiba, lebih dari setahun yang lalu. Aku tahunyapun nggak sengaja. Bahkan sampai beberapa waktu lalu masih ada yang nulis di wall FBnya bahwa beliau nggak tahu si teteh sudah tiada.

Namanya Teh Eva, kita memang tak terlalu dekat. Namun karena masih satu ‘nasab’ jadi aku sering mendapati teteh di berbagai acara yang kuikuti. Kontak terakhirku dengannya adalah ketika aku menghubungi suaminya yang seorang dokter untuk menjadi pemateri di acara Mukhayyam Akhwat. Saat itu Teh Eva yang mengangkat telfon, dan aku sempet basa-basi sedikit.

Sampai sekarang FBnya masih ada, wallnya berisi tulisan-tulisan kangen dari sahabat dan adik-adiknya. Suaminya juga rajin menjawab setiap ada yang nge-wall ke FB Teh Eva.

Kematian. Kapan, dimanapun dan dengan cara apapun ia pasti akan menyapa. Orang tua, anak muda bahkan bayipun tak bisa terlepas darinya. Akan tetapi, bagaimana kematian itu akan menyapa itu yang perlu kita pikirkan. Tentunya setiap kita mempunyai keinginan untuk meninggal dalam sebaik-baik keadaan. Dengan sepenuh-penuh iman.

Ini adalah tulisan dari suami teh Eva, Pak Iwan Nugraha. Di copas dari FBnya. khususnya sebagai pengingat diri ini.


***
(Salam.Saya membuat tulisan ini, sebagai jawaban atas pertanyaan beberapa teman Eva.Saya merasa tak pernah punya bakat menulis.Bahkan, terkesan sangat malas untuk sekedar menuliskan catatan kecil sekalipun.Tapi,kepergian Almh, membuat saya tersemengati untuk belajar menulis.Mohon masukan dari teman-teman Eva terutama, yang saya yakin pada “jago” nulis.Trims)

Senja Terakhir
Sepulang dari rumah sakit, hari jum’at(14 Mei 2010), kami sudah menjadwalkan berbagai macam terapi sebagai ikhtiar pengobatan penyakit yang dideritanya. Mulai dari shiatsu, chi, refleksi, bekam, semua sudah kami upayakan, selain obat-obat farmasi.

Hari itu, rabu pagi(19 mei 210), aku meminta izin istri untuk sejenak menemui pasien yang telah menungguku di klinik. Belum genap satu jam, aku melihat sudah ada tanda panggilan di handphone, dari orang yang paling aku khawatirkan kondisi kesehatannya saat itu.Nyala layar handphone itu bertulliskan “Ummi Sayang”. Segera aku angkat telepon itu

“Hallo,Mi.” ucapku.
Bi, terasa dingin seluruh tubuh. Rasanya seperti menusuk tulang.”

Ucapannya semakin membuat aku khawatir.Tanpa berpikir panjang, aku segera meluncur ke Bojong Koneng, rumah orang tuaku, dimana Eva tinggal sekembalinya dari rumah sakit Rotinsulu. Tempat yang aku rasa paling cocok untuk beristirahat, karena suasananya tenang. jauh dari keramaian. Biasanya aku praktek pagi dari jam 06.00-10.00 WIB. Namun, saat-saat itu jadwal praktekku jadi sangat tak menentu. Pada hari itu pun, jam 8 pagi aku sudah kembali berada di sampingnya.Aku raba keningnya, ternyata agak demam.

Aku sejenak berpikir apakah demam ini berasal dari penyakit yang dideritanya, atau ada penyakit baru lagi, infeksi mungkin. Aku sempat berpikir begitu, karena aku pun pagi itu merasakan sedikit demam, sakit pinggang dan linu-linu di sekujur tubuh. Hanya saja, demam dan pegal linuku alhamdulillah bisa teralihkan dengan push up, sit up yang aku paksakan. Aku punya tekad, aku tidak boleh sakit-sakit dulu. Untuk meredakan demamnya aku berikan satu tablet paracetamol.

Aku pun mengatakan, “Mi, hari ini ga usah ke Bandung dulu deh..istirahat aja.”

Hari itu memang kami sudah menjadwalkan untuk terapi avasin dan rencana kemoterapi lokal di salah satu klinik di daerah Cicaheum, Bandung, milik salah seorang seniorku, Dokter Raftika namanya.

“Nanti aja kita jadwalkan lagi.” tandasku.
Dia menggelengkan kepala.
“Nggak, ke Bandung aja sekarang.” jawabnya lugas.

Aku selalu melihat semangat membara untuk menaklukan kanker Malignant Pleural Mesothelioma yang baru beberapa hari berselang terdiagnosis pasti itu.

Ya udah, sekarang istirahat aja dulu, sambil kita lihat perkembangan Ummi.” tukasku, dengan sedikit bermaksud menenangkannnya.

Ketika jam dinding menunjukan pukul 9 lewat, nampaknya Eva sudah dalam kondisi “siap tempur”, sudah berganti pakaian, dibantu oleh Bi Aning, khodimat salah seorang bibinya Eva di Majalaya, yang semenjak eva dirawat di Ciumbuleuit selalu stand by mengawal Eva, terutama jika aku sedang keluar rumah.

“Mau jadi ke Bandung aja, Mi?” tanyaku.
“Iya.” tandasnya.

Aku menggendongnya dari kamar ke depan halaman rumah, di situ sudah ada motor Bapak untuk mengangkut kami melalui jalan gang sepanjang lebih kurang 50 meter, menuju mobil Karimun hitam yang sudah kusiapkan di pinggir jalan depan. Aku, Eva dan Bi Aning melewati jalanan sepanjang daerah Rancaekek-Cicaheum, selama itu pula Eva lebih banyak menunduk, menyandarkan keningnya ke kain pembungkus kursi depan mobil, di sebelah kiriku. Lelah sekali nampaknya. Namun selang oksigen yang menempel di hidungnya sedikit menyegarkan dan mengurangi sesaknya.

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, jam 2 siang, kami sudah kembali tiba di Bojong Koneng. Eva minta makan. Nasi ditemani Sayur Sop buatan Ibu, dilahapnya dengan semangat ’45, padahal biasanya suapan seujung sendok saja susah untuk ditelannya. Bahagia nian hati ini melihat cara makannya itu. Sesekali Eva bilang ke Bi Aning,

“Kentangan,Bi (pakai kentang)!

Itulah salah satu makanan favoritnya, kentang, sayuran yang hampir selalu membuatku “bergidik” dibuatnya. Aku paling tidak doyan sama kentang.Setiap ada kentang di piring makanku, pasti kentang itu akan segera beralih ke piring Eva.Hampir satu piring nasi dan Sayur Sop itu pun tandas…das…das…, tak bersisa. Selepas makan, Eva minum beberapa obat yang sudah terjadwal, ditambah beberapa herbal, yang salah satunya katanya diimpor dari Jepang, glucant, tertulis di plastik keras pembungkusnya.

Jam setengah tigaan serombongan guru SD-nya datang berkunjung, jauh dari Subang. Itu yang membuatku kagum pada mereka. Para ibu pendidik itu mengisahkanku masa kecil Eva di sekolah dahulu.

“Pinter Neng Epa mah…” kata salah seorang gurunya, dengan logat sunda yang sangat kentara. Aku hanya mengamini sambil manggut-manggut,dengan sesekali tersenyum. Menjelang jam 3 mereka berpamitan.

“Takut kesorean ah, masih jauh perjalanannya” kata ibu yang lainnya lagi.
“Neng Epa, enggal damang,nya…(cepat sembuh,ya)”hampir semua gurunya mengatakan serupa itu.

“Ibu, hapunten Abdi (maafkan saya!),” Eva berkata. Kepalanya menunduk, matanya berkaca-kaca. Nampak sekali gurat kesedihan di wajahnya. Selepas mengantar mereka ke halaman depan, aku merasakan tubuhku sudah sangat tak karuan. Segala sakit yang kurasa pagi tadi, semakin menjadi. Aku pun membaringkan tubuhku di sebelah Eva, yang sedang duduk tertunduk memeluk bantal merah bermotif batik.

“Mi, Abi tiduran dulu yah…bentar lagi mau praktek.” ungkapku, tanpa membuka lagi kelopak mata yang tak tlah tertahankan. Rasanya kedua bola mata ini belum lama terpejam, ketika dia mencolekkan jemarinya sambil mengatakan,

“Bi,dingin sekali.” Aku bangun, setengah terperanjat. Kali ini kulitnya terasa dingin. Kulilitkan selimut tebal merah muda milik adikku, Febi, melingkari seluruh tubuhnya, dari bawah leher.
“Kerasa angetan,ga?” tanyaku sambil merengkuhnya. Eva menggelengkan kepala perlahan.

“Menusuk tulang dinginnya. minta air panas aja.” bisiknya.
“Bi Aning, minta air panas sama handuk” ujarku, setengah berteriak. Bi Aning berjalan agak tergopoh-gopoh membawa baskom air panas dan handuk yang sudah diperasnya. Handuk itu serasa membakar telapak tanganku karena panasnya. Kugelungkan sedari siku hingga jari-jari tangannya,tertutup rapat oleh handuk panas.

“Gimana, Mi?“aku bertanya penuh penasaran.
“Ga kerasa.” lirihnya.
“Tangannya masukin aja ke air panas, ya…” lanjutnya.
“Eeeh…ngke molotok atuh kulitna, Sayang!” rayuku.

Aku kembali memeluknya. Dia sandarkan pelipis kanannya di bahu kiriku, lemah sekali kelihatannya. Jantungku berdentang keras. Firasatku akan ditinggalkannya mulai menggangguku.

“Ayo, lawan dinginnya, MI!” kataku, mencoba memotivasi.
“Astaghfirullohal’adzim…,Laa ilaaha Illalloh….” kucoba membimbingnya.

Eva mengikuti setiap penggal perkataanku. Dalam hitungan menit, volume suaranya semakin tidak kudengar saja, hingga hanya penggalan kata “Alloh…Alloh…” samar-samar. Hela nafasnya tinggal satu-satu. Bulir-bulir air mata sudah tak tertahankan lagi, membasahi sudut-sudut mata, menyumbat hidungku. Aku mencoba menguatkan diri, terus kucoba bisikkan Lafazh “Laa Ilaaha Illalloh” di telinga kanannya. Kulirik jam, menunjukan angka empat lewat tujuh menit.

Tiba-tiba lengannya mengejang, badannya melenting ke belakang seperti ada yang mencoba menariknya dari pangkuanku, mulutnya mengatup kuat, matanya terbuka, menatap jauh, kosong. Aku tersadarkan, Malaikat Maut yang pernah ia rayu dalam sajaknya, tengah menjemput jiwanya. Tak ada pilihan, kubaringkan badannya,sambil tetap mencoba lantunkan kalimat tahlil. Setelah hampir dua bulan tak bisa tidur terlentang, kini dia terbaring tenang. Nampaknya tak ada lagi sakit mendera, sesak, batuk, semua telah sirna.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Selamat Jalan,Belahan Jiwa…
Dari yang Mencintaimu karena Alloh…(Inoeva)

“Selamat Jalan teteh cantik shalihah, smoga kita dapat berkumpul di surgaNya”
aamiin

29 thoughts on “tentang kematian

  1. ayyeshakn said: “Dan orang yang paling cerdas serta beruntung adalah orang yang paling sering mengingat mati..”Mba Titin..kematian memang hakikatnya sahabat terdekat kita, ya! 🙂

    betuul ^,^smoga kita termasuk orang yang cerdas itu.. aamiin

    Like

  2. afnanzahra said: salam kenal, makasih dah berbagi ceritanya di sini, sediihh nian. Semoga almarhumah diberikan tempat terbaik disisi-Nya. *intstropeksi..introspeksi….Astaghfirullohal`adhim…

    salamkenal kembali, Mba.. ini juga sbg bahan renungan buat saya pribadi. :)aamiin. semoga.

    Like

  3. cawah said: semoga Pak Iwan diberi kekuatan dan kesabaran hingga akhirnya dpt berjumpa dengan bidadari dunia diSyurga kelak…aamiiin..*sambil mengusap air mata yg berlinang

    aamiin.wah ada ikhwan penumpah airmata..*loh? *ngrusak suasana ;d

    Like

Leave a comment