ini senja terakhir aku mengenangkanmu. mencatatmu bersama pesan yang -ternyata- tak pernah bosan dituliskan oleh hujan. pun kau yang tak jua lelah menghitung rinai memahat patahannya kedalam sketsa meski buram tanpa warna dan sampai kapan entah ianya menjelma bayang menenangkan.
ini senja terakhir aku mengenangkanmu. “kau tersesat,” bisikmu lirih. setidaknya itu pesan yang dapat kuterka dari balik sangkar yang lebih mirip labirin itu. “tentu saja aku tersesat, peta yang kuambil di pintu depan kota tidaklah lengkap.” batinku.
ya, aku tersesat dikota tua. kota dimana hari seolah tak pernah berganti. cahaya jingga senja selalu memendar sepanjang hari. takada pagi, takada siang, takada malam. terkadang juga ia memijar merahjambu yang akan dengan cepat berganti warna merah serupa darah sebagai pertanda datangnya hujan. anehnya air hujan itu berubah ungu. sesekali biru. sehingga hewan yang berkeliaran dijalan-jalanpun berubah berwarna-warni tertimpa tetesannya. sejenak, aku takjub dibuatnya.
ya, aku tersesat dikota tua. kota dimana hari seolah tak pernah berganti. senandung nada sumbang yang senantiasa terdengarpun tak pernah berubah. mungkin ia kidung pujian, tapi bagiku serupa teriakan, atau luapan kemarahan. terkadang juga rintihan.
“Tuan, aku mencintaimu.. tidakkah kau tau? Tuaaaan aku mencintaimu, seharusnya kau taaauu!!” lain waktu kalimat itu berubah, “Tuhaaan, aku mencintaiMu, aku mencintaiMu sangaaat Tuhan.”
aku tak tahu darimana suara itu berasal, ia hanya gaung yang terus berulang. sesekali mirip suara laki-laki, dilain waktu seperti suara seorang perempuan yang menyayat nyayat. rasanya telingaku menjadi tuli karenanya. takada suara lain yang dapat kudengar kini.
ternyata aku makin tersesat dikota tua ini. takada seorangpun yang dapat kutanya mengenai gerbang keluar dari sini. sempat kulihat seorang perempuan, ia menatapku tajam. ketika aku ingin bertanya, ia sudah berkata mendahuluiku, “kau pulanglah ke utara!”
“utara.. utara..!! bagaiamana aku bisa mengenali arah utara? kenapa juga harus utara??” sejurus kemudian aku bertemu dengan seorang pemuda, ia melihatku dengan tatapan sendu, dan belum sempat aku bertanya, ia menunduk dalam. dengan cepat berlalu dari hadapanku.
ternyata aku makin tersesat dikota tua ini. namun ini senja terakhir aku mengenangkanmu. senja terakhir? bahkan aku tak bisa mengacu pada waktu yang biasa. sehingga kusebut setiap waktu adalah senja. dan kau menghilang sesaat setelah “membisikkan” kata tersesat.
dan kini adalah benar-benar senja terakhir aku mengenangkanmu. mencatatmu bersama pesan yang -ternyata- tak pernah bosan dituliskan oleh hujan. pun kau yang tak jua lelah menghitung rinai memahat patahannya kedalam sketsa meski buram tanpa warna dan sampai kapan entah ianya menjelma bayang menenangkan.
“aku tersesat, tapi tak maukah kau kuajak mencari jalan untuk bersama pulang?”
Kebumen, 25 Mei 2011
ini untuk AK 14 yang udah telaaat. yang terfikir begini. ;d
LikeLike
bawa kompas gak?
LikeLike
pakai GPS aja.. haha
LikeLike
acu nya mana?
LikeLike
tulisan yang asyik …*jadi membayangkan alur ceritanya sendiri … he he he …
LikeLike
Haduh tersesat…Bahasanya keren Tintin he…
LikeLike
Wah Mantabs jaya..SABUDI ‘sastra budaya indonesia’mari kta jaga bersama!
LikeLike
adanya korannya u lesehan. 😀
LikeLike
jaman urduu bin aneh mana ada gps mba?:))
LikeLike
ditunggu yo ak14nya segera *masih inget tantangan eulogi? biar bisa dikerjain ;p
LikeLike
bikin kelanjutannya atuh, mas Hendra ;d
LikeLike
ahahha.. iyaaah.lemparin peta u pulang dong ;d
LikeLike
wah, jaya emang mantabs..;p
LikeLike
He he sekarang juga…Tangkep nih… hiyaaaaa…
LikeLike
hap! ketangkeeephuhuuy.. aku pulaaaang..;d
LikeLike
Asik ngerumpi yuk he he
LikeLike
ahahah…sssttss.. adikmanis jam segini harusnya bobo;d
LikeLike
Nanti dulu Kak belum nngantuuuuk he he
LikeLike
insyaAllah. kalo laptop udah bener. ;d
LikeLike
Arisan kata sudah dimulaihttp://moestoain.multiply.com/journal/item/339/Arisan_Kata_15
LikeLike
Silahkan untuk arisan kata 17 nyahttp://moestoain.multiply.com/journal/item/378/Arisan_Kata_17
LikeLike